Ternyata dampak melihat perempuan sebagai sumber fitnah itu bisa ke mana-mana. Setiap tindakan yang jelas-jelas baik pun menjadi dinilai belum tentu baik jika dilakukan oleh perempuan, apalagi tindakan yang buruk.
Fitnah
Saya pernah ‘menthelengi’ fatwa-fatwa terkait isu perempuan; mulai dari apakah boleh perempuan naik sepeda, perempuan belajar selain al-Qur’an, perempuan menjadi mubalighah, sampai dengan perempuan menjadi presiden. Pola jawabannya sama:
- Jika pasti menimbulkan fitnah, maka haram;
- Jika mungkin menimbulkan fitnah, maka makruh;
- Jika pasti tidak menimbulkan fitnah, maka boleh.
Percaya atau tidak, tindakan yang sama bisa berbeda hukumnya antara jika dilakukan oleh perempuan cantik dan sebaliknya.
Cara pandang perempuan sebagai sumber fitnah terkait erat dengan cara pandang atas perempuan sebagai objek seksual laki-laki. Setiap inci tubuh perempuan adalah sumber fitnah yang bisa menjadikan laki-laki berbuat ma’shiat sehingga mesti ditutup serapat mungkin. Bahkan suaranya pun dinilai aurat!
Mari kita refleksikan kesadaran kemanusiaan seperti apa yang ada di masyarakat Jahiliyah dan kesadaran kemanusiaan seperti apa pula yang sedang dibangun oleh Islam.
Selama turunnya pada tahun 611-634 M, Islam menggerakkan kesadaran masyarakat Jahiliyah bahwa perempuan dari adalah objek menjadi subjek penuh sistem kehidupan.
Masyarakat Jahiliyah kala itu pada umumnya memandang perempuan sebagai benda/objek alias bukan manusia. Karenanya:
- Bayi perempuan boleh dikuburkan hidup-hidup;
- Perempuan dijadikan harta warisan;
- Perempuan disetubuhi oleh laki-laki sedarah yang dianggap sebagai pemiliknya (ayah/suami/kerabat laki-laki);
- Perempuan bisa dipoligami dalam jumlah tak terbatas dan tanpa syarat adil;
- Tindakan/tradisi tidak manusiawi lainnya terhadap perempuan.
Islam membangun proses kesadaran kemanusiaan sebagai berikut:
- Laki-laki dan perempuan sama-sama makhluk fisik, intelektual, dan spiritual. Nilainya tidak tergantung kondisi fisik, termasuk alat kelamin, tapi oleh akal budi atau keluhuran budi pekertinya;
- Keduanya sama-sama hanya hamba Allah sehingga tidak boleh saling memperhamba satu sama lain termasuk dalam kapasitas suami dan istri;
- Sama-sama sebagai Khaliifah fil Ardh sehingga sama-sama wajib mewujudkan kemaslahatan sekaligus menikmatinya, dan mencegah kemungkaran sekaligus dilindungi darinya, baik di dalam maupun di luar rumah;
- Sama-sama diberi kecenderungan berbuat buruk (fujuur) sehingga menjadi sumber fitnah, dan kecenderungan berbuat baik (taqwaa) sehingga menjadi sumber anugerah, dan dengan akal budinya.
- Laki-lai dan perempuan sama-sama diharapkan oleh Islam menjadi anugerah bagi semesta.
Mafsadat dan Mudharat
Mari buat pola baru dalam membangun sistem pengetahuan keislaman, termasuk fatwa, berbasis mafsadat/mudharat sesuai dengan kesadaran kemanusiaan baru di atas:
- Jika sebuah tindakan sudah pasti menyebabkan mafsadat apalagi mudlarat pada laki-laki dan atau perempuan, maka haram;
- Jika sebuah tindakan ada kemungkinan menyebabkan mafsadat apalagi mudlarat pada laki-laki dan atau perempuan, maka makruh;
- Jika sebuah tindakan sudah pasti tidak menyebabkan mafsadat apalagi mudlarat pada laki-laki dan atau perempuan, maka boleh.
Kemaslahatan
Jika ingin berbasis sesuatu yang positif, kita bisa juga membangun sistem pengetahuan keislaman, termasuk fatwa, berbasis kemaslahatan:
- Jika sebuah tindakan HARUS ada dalam mewujudkan kemaslahatan pada laki-laki dan atau perempuan, maka wajib;
- Jika sebuah tindakan MUNGKIN diperlukan dalam mewujudkan kemaslahatan pada laki-laki dan atau perempuan, maka sunnah;
- Jika sebuah tindakan TIDAK BOLEH ada dalam mewujudkan kemaslahatan pada laki-laki dan atau perempuan, maka haram.
Rahmatan Lil Alamin
Cita-cita Islam untuk menjadi anugerah bagi semesta menghendaki laki-laki dan perempuan bekerjasama untuk memaksimalkan akal budi masing-masing agar pikiran, tutur kata, hingga tindakan, baik personal maupun kolektif, individual maupun sistemik, bisa berdampak maslahat pada laki-laki dan atau perempuan, secara internal maupun eksternal.
Salah satu pekerjaan rumah besar kita sebagai umat beragama adalah membangun sistem pengetahuan keislaman yang menggerakkan kesadaran penuh kemanusiaan kedua belah pihak, yaitu bagaimana caranya laki-laki dan perempuan bisa sama-sama berproses untuk merayakan setiap inci tubuh, suara, dan pikiran keduanya untuk kemaslahatan bersama, terutama kemaslahatan bagi pihak dhuafaa’ (lemah) dan mustadh’afiin (rentan dilemahkan) dalam setiap relasi.
Hakiki
Tentu anugerah bagi semesta meniscayakan pihak lemah dan rentan juga menjadi standar kemaslahatan. Tidak menjadikan orang kaya/kulit putih/sehat/dewasa/non difabel/mayoritas sebagai standar tunggal kemaslahatan orang miskin/kulit hitam/orang sakit/anak dan lansia/difabel/minoritas.
Begitu juga tidak menjadikan laki-laki sebagai standar tunggal kemaslahatan perempuan. Kondisi kemanusiaan khas perempuan harus pula dipertimbangkan, baik secara biologis maupun sosial. Secara biologis misalnya menstruasi, hamil, melahirkan, nifas, dan menyusui dan secara sosial misalnya kerentanan perempuan untuk mengalami stigmatisasi, subordinasi, marjinalisasi, kekerasan, dan beban ganda, yang semua hanya karena menjadi perempuan.
Kemaslahatan hakiki perempuan adalah kemaslahatan yang:
- Tidak menyebabkan pengalaman biologis khas perempuan yang sudah adzaa (sakit), kurhan (melelahkan), dan wahnan ‘alaa wahnin (sakit/lelah berlipat) menjadi semakin sakit, bahkan sebaliknya mesti lebih nyaman, walau laki-laki tidak mengalaminya;
- Tidak menyebabkan perempuan mengalami kerentanan sosialnya untuk diperlakukan secara zalim sebab kemaslahatan mustahil mengandung kezaliman apapun termasuk kezaliman hanya karena menjadi perempuan, sekalipun laki-laki tidak mengalaminya.
Kemaslahatan hakiki perempuan adalah kemaslahatan yang menyebabkan pengalaman biologis khas perempuan menjadi semakin nyaman dan tidak mengandung kezaliman apapun termasuk kezaliman hanya karena menjadi perempuan.
Lalu, atas dasar itu semua, apakah sebaiknya perempuan mandiri secara ekonomi dengan bekerja? Mari ikuti acara Rumah KitaB ini. Insya Allah kumau gunakan tawaran paradigma di atas untuk melahirkan pengetahuan keislaman yang relevan.
Semoga bisa menjadikan sistem ajaran islam sebagai amunisi spiritual untuk terus berproses memanusiakan diri sendiri dan orang lain sepenuhnya. Aamiin Yaa Rabbal Aalamiin!
Pamulang, 3 Januari 2022
Salam KGI. Editor: AMN