Menarik membaca karya-karya Muhammad Syahrur, salah seorang mufasir kontemporer yang berpendapat bahwa Tafsir al-Qur’ân harus selalu terkinikan dengan situasi yang terjadi sehingga tafsirnya tidak tertinggal oleh zaman, bahkan tidak tertinggal oleh pemikiran-pemikiran para ilmuwan terutama ilmuwan Barat non-Muslim.
Pengembaraan keilmuan Syahrur memang cukup kompleks. Tidak hanya berkubang dalam tradisi ilmu-ilmu alam, tapi mendekati kajian-kajian keagamaan Islam dengan menyentuh pijakan-pijakan dasar yang menjadi logika keagamaan. Hal itulah yang Syahrur tempuh dengan mendalami filsafat dan bahasa, khususnya Bahasa Arab yang terkenal kaya akan pemaknaan dan peristilahan. Perkenalan dan pendalamannya pada karya-karya klasik para filsuf Muslim semisal Al-Afarabi, Al-Farisi dan Al-Jurjani, menambah rasionalitas keagamaan dan pemahamannya tentang Islam. Dari situlah Syahrur berkesimpulan bahwa lafadz mengikuti makna, bukan sebaliknya. Pada tataran selanjutnya, makna tertentu dilahirkan berdasarkan lafadz yang digunakan.
Pada tataran lain, peran para mufassir menjadi penting dalam perkembangan tradisi pemaknaan terhadap teks. Mufassir lah yang mengembangkan makna dengan lafadz-lafadz yang dimaknainya; sementara lafadz tetap pada dirinya dan memungkinkan untuk ditafsirkan sesuai dengan dinamika dan perkembangan zaman. Berpegang pada kebenaran tunggal makna hasil penafsiran menjadi suatu hal yang ironis di tengah pergumulan para mufassir yang justru hadir sebagai anak zaman.
Begitu rigid dan spesifiknya pemaknaan atas teks, Syahrur bahkan menolak adanya sinonimitas, di mana satu teks dengan teks yang lain dipandang memiliki makna yang sama. Semua memiliki makna yang berbeda dengan keterkaitan antara teks sebelum dan sesudahnya.
Pada garis besarnya, penafsiran terhadap al-Qur’ân dilakukan melalui empat metode,yaitu metode Ijmali (global) Tahlili (analitis), Muqarin (perbandingan), dan Maudhu’i (tematik). Lahirnya metode-metode tafsir tersebut merupakan implementasi dan respon atas tuntutan perkembangan zaman yang selalu dinamis. Pada umumnya orang yang hidup pada masa Nabi Muhammad Saw dan sahabat adalah ahli dalam bahasa Arab dan mengetahui secara baik latar belakang turunnya ayat (Asbaab al-Nuzuul), serta mengalami langsung situasi dan kondisi umatketika ayat al-Qur’ân turun. Dengan demikian, mereka relatif dapat memahami ayat-ayat al-Qur’ân secara benar, tepat, dan akurat.
Pada periode berikutnya, umat Islam semakin majemuk, terutama setelah tersebarnya Islam di luar tanah Arab. Kondisi ini membawa konsekuensi logis terhadap perkembangan ilmu tafsir. Akibatnya, para pakar tafsir ikut mengantisipasinya dengan menyajikan penafsiran ayat al-Qur’ân yang sesuai dengan perkembangan zaman dan kehidupan umat yang semakin beragam, dari sinilah lahir istilah tafsir modern.
Salah satu yang mendorong lahirnya tafsir modern adalah semakin melebar, meluas, dan mendalamnya perkembangan aneka ilmu, dan semakin kompleksnya persoalan yang memerlukan bimbingan al-Qur’ân. Di sisi lain, kesibukan dan kesempatan waktu yang tersedia bagi peminat tuntunan itu semakin menuntut gerak cepat untuk meraih informasi dan bimbingan.
Metodologi tafsir Karya Syahrur yang berlatar belakang ilmu pasti ini mengajukan sebuah Teori Limit yang sangat menarik dan terdiri dari 6 teori. Namun karena terbatasnya ruang, maka dalam tulisan ini hanya dikutip satu teori nya yaitu: Haalah al-hadd al-a’laa muujaban wa al-hadd al-adnaa saaliban (posisi batas maksimal positif dan batas minimal negatif).
Teori yang terakhir ini yang digunakan oleh Syahrur dalam menganalisa transaksi keuangan. Batasan tertinggi dalam teori ini adalah pajak atau bunga, sedangkan batasan terendah adalah zakat. Sementara titik nol di antara daerah positif dan negatif adalah pinjaman tanpa bunga.
Dengan mengedepankan pendapat Syahrur bahwa tafsir lafadz harus mampu menjawab tantangan kekinian, serta dengan memakai Teori Limit-nya, mari kita coba implementasikan dalam menafsirkan ayat muhkamat lainnya yaitu QS. Ali Imran/3: 19:
“Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam. Tidaklah berselisih orang-orang yang telah diberi Kitab kecuali setelah mereka memperoleh ilmu, karena kedengkian di antara mereka. Barang siapa ingkar terhadap ayat-ayat Allah, maka sungguh, Allah sangat cepat perhitungan-Nya.”
Agama di sisi Allah ialah Islam. Kita mengimani agama yang dianut oleh para nabi pembawa kitab semuanya sebagai Islam sehingga lafadz Islam harus ditetapkan menjadi batas minimal. Kita ketahui pula dalam al-Qur’ân tidak ada satu ayatpun yang menerangkan atau mengabarkan tentang peperangan di antara sesama Islam, al-Qur’ân hanya menyatakan berselisih sesudah memperoleh ilmu karena kedengkian. Artinya lafadz berselisih harus menjadi batas maksimalnya.
Teori Limit ini mengandung arti bahwa suatu tindakan atau ketetapan tidak boleh melampaui batas maksimal positif, namun boleh melampaui batas minimal negatif.
Gagasan Syahrur dengan konsep dasar ilmu pasti seakan segalanya menjadi pasti, tetapi sebagaimana filsuf berkata alam ini sesungguhnya selalu memberikan kepastian kepada siapapun, bumi ini tidak membedakan siapapun yg menginjaknya, awan tidak rasis kepada yang diteduhinya, demikian pula hujan tidak memilih Anda Muslim atau bukan. Saat hujan mengguyur, basahlah atau keringlah jika menghindarinya, bahkan bumi menerima buangan sampah kemudian mengembalikannya menjadi bentuk pupuk yg kita butuhkan.
Demikianlah alam, ia tidak berkhianat, tidak murtad, tidak juga munafik, bahkan ia selalu memberikan nilai tambah. Jadi jelaslah bagi umat Islam siapapun Anda, seandainya merasa menjadi Muslim dan hendak menjadi umat terbaik, playing field-nya jelas tidak ada yang abu-abu. Berislam itu ternyata hanya batas minimal saja, padahal berislam itu sesungguhnya penyerahan diri secara total kepada Allah. Berislam itu adalah menebarkan salam dan merahmati sesama bahkan seluruh alam. Batas maksimalnya pun sangat terang benderang yaitu saat Anda berselisih, ingatlah bahwa Anda sedang memasuki wilayah berbahaya, karena itulah batas maksimalnya.
Logis sekali memang, perhatikan trajectory-nya setelah berselisih kemudian, dengki, benci, bertengkar, bermusuhan, bercerai berai, berperang, berbunuhan dan tidak akan ada pemenangnya karena sudah diperingati oleh al-Qur’ân sejak dimulainya perselisihan bahwa tidak akan ada gunanya. Saya takut membayangkan konsekwensi akibat berani melewati batasan berselisih yang al-Qur’ân telah tetapkan batasannya. Mungkin itulah sebabnya mengapa umat Islam sekarang berkubang dalam keterbelakangan, dalam kebodohan, kemelaratan dan kesengsaraan.
Kita mungkin tidak memperhatikan bahwa war zone paling berbahaya di dunia saat ini banyak terdapat di wilayah negara Muslim. Ratusan juta anak menderita dan kita tidak tahu kapan berakhirnya kepedihan dan penderitaan mereka. Perang itu adalah perang antarsesama Muslim. Lebih spesifik, terjadi lebih banyak di wilayah Arab, antarsesama Arab, sesama Muslim dan ini lebih buruk dari perang suku yang terjadi pada zaman Rasulullah, karena saat ini lebih masif, lebih dahsyat, lebih jahat, dan lebih membahayakan keselamatan dunia. Seandainya Baginda Rasulullah saat ini hidup, kesedihannya mungkin tidak terperikan. Saat dahulu beliau berdakwah fokusnya membangun akhlak mulia, bahkan beliau mampu mendamaikan suku-suku bangsa Arab yang berperang berpuluh tahun. Saat ini yg berperang malah sesama Islam. Keniscayaan akibat politik kepentingan menjadikan politik sebagai panglimanya, sementara agama hanya menjadi tunggangannya. Ayat-ayat al-Qur’ân bukan diimplementasikan, tetapi dijadikan amunisi para pihak untuk saling menghujat, saling mengkafirkan saling membunuh.
Kemunduran akibat kerugian dari kenyataan di atas sungguh sulit untuk dihitung. Para pemuja perang ini seakan mempertontonkan ke dunia, betapa tradisi kekerasan kebiadaban memang sudah berakar kuat menjadi watak para petarung dungu dan bodoh sesama Muslim tersebut. Naif sekali jika sebagian (kecil) umat Islam di kita menganggap bangsa Arab lebih tinggi derajatnya, lebih beriman, dan lebih mulia kedudukannya, karena itu diikuti bukan saja cara berpakaian, namun sampai pada hal-hal sepele seperti mengucapkan terimakasih pun kita seakan tidak percaya diri selain mempergunakan bukan bahasa kita sendiri.
Oleh karena itu, sudah saatnya kita lebih percaya diri kepada kearifan lokal yang tradisi bangsa ini miliki. Kita menjunjung tinggi tata krama (anggah ungguh), kita memiliki karamahtamahan dan sopan santun yang sulit tertandingi bangsa lain sesama muslim. Dan yang lebih dahsyat, kita memiliki supra struktur UUD yg sungguh sangat Islami. Sering terbersit kerinduan kepada Rasulullah. Seandainya saja beliau berada di tengah kita, beliau mungkin akan mengapresiasi kehidupan keberagamaan kita yang mengakar karena dakwahnya dari dua arus besar yang mengakar yaitu dakwah para wali melalui tradisi lokal yang kemudian berhimpun pada NU, namun arus kuat lainnya pun sungguh membesarkan hati karena pergerakannya melalui modernisasi yang berfokus kepada pendidikan dan ilmu pengetahuan yang berhimpun pada Muhammadiyah.[]
Catatan: Tulisan ini berlanjut ke Diskusi Imaginer Dengan Muhammad Syahrur dalam lanjutan tulisan ini
Editor: AMN
Tulisan keren yg sngt membuka wawasan tentang pentingnya Al Qur’an dlm.menuntun manusia sejakan dg perkembangan peradaban.
Masya ALLAH
Al Qur’an jg ditafsirkan dg cara yg sngt hati2, dg menggunakan empat metode yg smart.
Alhamdulillah sy bersyukur punya peluang membaca paparan diataa, yg hny bisa dibuat oleh orang yg memiliki kemampuan berbahasa tinggi, baik dlm kosa kata, pemahaman dan pemaknaannya