Hermeneutika Filosofis Hans-Georg Gadamer

mizanamanah.or.id

Hans-Georg Gadamer lahir di Marburg, Jerman pada tanggal 11 Februari tahun 1900. Ayahnya bernama Dr. Johannes Gadamer. Dia adalah seorang profesor kimia di Universitas Breslau, Jerman. Ibunya seorang Protestan yang taat terhadap agama, akan tetapi ibunya meninggal ketika Gadamer berumur empat tahun. Gadamer dianugerahi umur yang cukup panjang sekitar 102 tahun dan meninggal di Heidelberg, Jerman pada tanggal 13 Maret 2002.

Gadamer belajar filsafat di Universitas Breslau pada Nikolai Hartman dan Martin Heidegger serta mengikuti perkuliahan Rudolf Bultmann. Pada tahun 1922, Gadamer memperoleh gelar doktor filsafat. Pada tahun 1929, Gadamer menjadi privatdozent di Marburg dan menjadi profesor di tempat yang sama pada tahun 1937. Sejak tahun 1949 dia mengajar di Heidelberg sampai pensiun. Menjelang masa pensiun, karir filsafat Gadamer justru mencapai puncaknya melalui publikasi Wahrheit und Mehtode (Truth and Method).

Pemikiran Gadamer tidak terlepas oleh pengaruh gurunya, Heidegger. Sebagian pemikirannya adalah lanjutan dari pemikiran Heidegger, akan tetapi tidak sedikit juga yang berasal dari pemikiran Gadamer sendiri. Secara umum, seseorang dalam memahami sesuatu menghasilkan pemahaman yang bersifat kognitif, namun bagi Gadamer itu adalah sesuatu yang salah. Dia berpendapat bahwa proses pemahaman adalah wujud dari keberadaan manusia (ontologis). Manusia bisa disebut sebagai manusia jika melakukan kegiatan memahami. Selama masih bisa berfikir dan memahami, selama itulah masih bisa disebut manusia. 

Ketika orang memahami, bukan berarti dari tidak tahu menjadi tahu, akan tetapi dari pemahaman yang lama menuju pemahaman yang baru. Ini dikenal dengan istilah pra-pemahaman. Menurut Heidegger, pemahaman itu terdiri dari pra-pemahaman dan faktisitas. Gadamer setuju dengan pemikiran Heidegger tersebut, namun menurutnya ada satu hal lain yang tidak dapat dilupakan yaitu dimensi sosial pemahaman (dialektika sosial). Bagi Gadamer, pra-pemahaman kita tidak hanya memahami sendirian melainkan ada dialektika di sekitar kita seperti budaya dan lain sebagainya. Gadamer berusaha membebaskan hermeneutika dari tokoh-tokoh sebelumnya, sehingga hermeneutika tidak lagi sebagai seni atau metode melainkan sebagai kemampuan universal manusia untuk memahami. Karena itu hermeneutika Gadamer bisa disebut “hermeneutika filosofis” (philosophische hermeneutik).

Hermeneutika Schleiermacher memusatkan diri pada upaya memahami keasingan dalam teks-teks kuno. Schleiermacher berusaha untuk menghadirkan kembali makna dari masa silam seutuh-utuhnya agar kesalahpahaman dengan pembaca masa kini dapat diatasi. Tindakan memahami diandaikan sebagai rekonstruksi atas produksi teks atau makna yang seolah bisa steril dari keterlibatan penafsirnya dalam kekiniannya. Dengan demikian, hermeneutika romantis Schleiermacher dikategorikan sebagai hermeneutika reproduktif. 

Menurut Gadamer, hermeneutika Schleiermacher lupa bahwasanya pengarang dan pembacanya masing-masing sudah senantiasa bergerak di dalam wilayah kesepahaman yang berbeda. Tindakan memahami, lanjut Gadamer, bukanlah sebuah representasi atas makna dari masa silam, melainkan sebuah peleburan antara cakrawala atau horizon masa silam dari pengarang dan horizon masa kini dari pembaca. 

Gadamer juga mengkritik hermeneutika Dilthey. Dua hal yang dikemukakan Gadamer untuk mengkritik Dilthey yaitu: Pertama, Dilthey berpandangan bahwa kita ditentukan sejarah, maka kita dapat mengetahui sejarah sebagai fakta. Dalam arti ini lalu pengetahuan sejarah berciri universal, yaitu melampaui sejarah konkret. Pandangan ini bertentangan dengan historisitas itu sendiri yang mengandaikan bahwa kita manusia bergerak di dalam sejarah dan tidak mengatasinya. Kedua, kesadaran historis Dilthey masih dipahami sebagai kesadaran akan sejarah, bukan sebagai kesadaran dalam sejarah. Kesadaran historis Dilthey merupakan hasil refleksi yang seolah-olah bisa keluar dari sejarah, Padahal menurut Gadamer, pengetahuan kita sendiri menyejarah. Ada yang lebih primordial daripada kesadaran atau pengetahuan akan sejarah, yakni kesadaran yang ditentukan dan dipengaruhi oleh sejarah.

Pokok-pokok hermeneutika filosofis Gadamer berangkat dari paradigma Hiedegger tentang dimensi ontologis manusia, yakni cara berada dasein. Gadamer mengembalikannya pada interpretasi pada umumnya yang juga dilakukan dalam ranah keseharian. Seseorang yang mencoba untuk memahami tak terlindung dari distraksi makna-makna yang telah ada sebelumnya yang tidak berasal dari hal-hal itu sendiri. Bila memahami selalu melibatkan makna yang telah ada sebelumnya, suatu pra-struktur pemahaman, tidak akan ada interpretasi obyektif sebagaimana dikejar Schleiermacher dan Dilthey. 

Pra-stuktur pemahaman yang terdiri dari vorhabevorsicht dan vorgriff digunakan Gadamer untuk merehabilitasi konsep prasangka. Pertama vorhabe adalah kesan awal yang dipahami. Kedua vorsicht adalah visi yang ingin dicapai. Ketiga vorgriff adalah kerangka teori atau perspektif. Pra-struktur pemahaman ini diadaptasi Gadamer menjadi konsep prasangka. Prasangka sendiri ada yang legitim dan illegitim. Prasangka ini bersumber dari otoritas dan tradisi. Manusia, menurut Gadamer tidak bisa keluar dari tradisi, tiada pemahaman yang bekerja sendiri tanpa prasangka, karena dalam setiap pemahaman bekerja unsur-unsur dari otoritas dan tradisi. 

Upaya Gadamer untuk merehabilitasi otoritas dan tradisi memiliki implikasi bagi pandangan tentang kesadaran sejarah yang tidak terlepas dari subyektifitas pembaca ataupun peneliti yang berada dalam pengaruh-pengaruh zamannya sendiri. Maka demi keutuhan interpretasi perlu dibongkar lapisan-lapisan sejarah pengaruh yang terdiri dari empat lapisan kesadaran, yaitu; kesadaran peneliti akan ketersituasian, kesadaran akan bekerjanya atau berpengaruhnya sejarah dan tradisi di dalam setiap pemahaman, kesadaran seorang yang mengambil bagian dalam kesadaran suatu zaman, dan yang terakhir refleksi diri. Konsep ini dikenal dengan wirkungsgeschichte (sejarah pengaruh).

Konsep sentral selanjutnya dari Gadamer adalah horizontverschmelaung (peleburan horizon-horizon).  Horizon di sini bisa diartikan sebagai perspektif, pengetahuan atau kesadaran yang mempunyai ciri terbuka dan dinamis. Peleburan horizon-horizon bukanlah lenyapnya horizon pembaca ataupun hilangnya horizon yang dibaca, namun interseksi di antara horizon pembaca dan horizon yang dibaca yang menghasilkan horizon baru pembaca yang lebih luas dan lebih dalam. Oleh karena itu, hermeneutika filosofis Gadamer berciri produktif.

Konsep selanjutnya dari Gadamer adalah aplikasi. Selama ini umumnya aplikasi diterapkan setelah pemahaman sehingga terjadi dualitas antara pemahaman dan aplikasi. Menurut Gadamer, aplikasi adalah bagian dari pemahaman atau proses memahami. Ketika kita sedang mengaplikasikan suatu pemahaman di situ pulalah kita memahami atas apa yang kita aplikasikan. Dari sini kemudian lahirlah konsep pengalaman hermeneutis yang menghasilkan bildung, sensus komunis, pertimbangan dan selera.

Dari penjelasan ringkas di atas, media yang digunakan semuanya adalah bahasa. Bahasa dipandang oleh Gadamer sebagai proses penyingkapan kenyataan, bahkan lebih tegas lagi Gadamer mengatakan, “Ada yang dapat dipahami adalah bahasa.”

DAFTAR PUSTAKA

Hardiman, F. Budi. Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida. Yogyakarta: PT Kanisius, 2015.

Mulyono, Edi. Belajar Hermeneutika: Dari Konfigurasi Filosofis Menuju Praksis Islamic Studies. Yogyakarta: IRCiSoD, 2013.

Palmer, Richard E. Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.

Poespoprodjo, W. Hermeneutika. Bandung: CV Pustaka Setia, 2004.Sumaryono, E. Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: PT Kanisius, 1999.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *