Agamawan Melawan Ilmuwan

Ilmu pengetahuan mentahbiskan diri sebagai penantang serius bagi agama sejak dua temuannya mengguncangkan jagad keyakinan manusia, yaitu teori heliosentrisme dan teori evolusi. Memang heliosentrisme jauh lebih kuat dari teori evolusi. Itulah barangkali mengapa teori evolusi masih diberi embel-embel “teori” sedangkan heliosentrisme tidak lagi padahal awalnya juga disebut sebagai teori.

Bacaan Lainnya

Heliosentrisme dianggap mengganggu keyakinan karena saat masih dianut geosentrisme, banyak penjelasan menjadikannya sebagai dasar argumen. Misalnya, sebagai bukti bahwa manusia adalah makhluk paling sempurna, maka alam semesta pun berputar mengelilingi bumi, tempat manusia hidup, termasuk matahari, karena bumilah pusat semesta. Itu adalah simbol sekaligus bukti bahwa manusia adalah pusat semesta. Lalu, ketika dasar argumennya dicerabut, di mana lagi penjelasan itu berjejak? Makanya, bisa saja muncul kecurigaan bahwa jangan-jangan manusia bukanlah makhluk paling sempurna. Jangan-jangan manusia bukan siapa-siapa karena sesungguhnya manusia tidak lebih dari butiran debu dibandingkan dengan maha raksasanya alam semesta.

Adapun guncangan yang diduga diakibatkan oleh teori evolusi jauh lebih dahsyat karena bukan hanya menggugat posisi penting manusia di alam semesta, tetapi juga menggugat posisi Tuhan sebagai penentu jalannya alam semesta. Posisi penting manusia dalam teori evolusi tidak lebih penting daripada makhluk-makhluk hidup lainnya. Semua harus mengalami seleksi alam untuk dapat bertahan. Di hadapan alam raya, manusia sesungguhnya sangat rentan akibat bencana alam, penyakit, dan juga kematian. Bertahan tidaknya manusia bergantung pada kehendak alam.

Anggapan gugatan teori evolusi terhadap posisi Tuhan adalah diserahkannya segala urusan alam kepada hukum alam, bukan kepada Tuhan lagi. Intervensi Ilahi yang sebelum ditemukannya teori evolusi begitu kuat mencengkeram menjadi hilang dan beralih kepada intervensi alam itu sendiri terhadap alam. Alamlah penentu segalanya, bukan Tuhan. Begitulah kira-kira gugatan teori evolusi yang membuat hampir semua agama menolaknya.

Namun jika dibandingkan dengan heliosentrisme, teori evolusi sesungguhnya merehabilitasi kembali posisi kemuliaan manusia setelah heliosentrisme benar-benar merusaknya. Pada teori evolusi, posisi intervensi Ilahi lah yang digugat dan membuka peluang bagi intervensi manusiawi. Di sinilah posisi kemuliaan manusia itu kembali pulih karena lahir pemahaman bahwa manusia bisa saja mengontrol perjalanan alam semesta jika manusia menggenggam kata kuncinya, yaitu: ilmu pengetahuan. Lalu ilmu pengetahuan pun menjadi primadona.

Baik heliosentrisme maupun teori evolusi secara pelan namun efektif menggugat posisi Tuhan lalu meneguhkan posisi manusia di alam semesta. Memang heliosentrisme menghilangkan salah satu argumen kuat bagi posisi penting manusia di alam semesta tetapi bukankah heliosentrisme ditemukan oleh ilmu pengetahuan dan bukankah ilmu pengetahuan adalah temuan manusia dan bukankah dengan demikian akan banyak lagi rahasia alam semesta yang bisa disingkap oleh manusia jika manusia menguasai ilmu pengetahuan? 

Memang teori evolusi juga menghilangkan posisi penting manusia di antara makhluk hidup lain yang dipahami tidak lebih dari sekadar mainan bagi hukum alam, tetapi ilmu pengetahuan membuat manusia mampu memahami bagaimana alam bekerja dan itu adalah alat yang maha penting untuk menguasai alam semesta. Kita tahu—setidaknya hingga saat ini—hanya manusia yang memiliki kemampuan untuk itu.

Sampai di atas bisa dipahami bagaimana resahnya para agamawan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Mereka gugup mengantisipasi perkembangan tersebut dan khawatir jika-jika posisi penting agama—dan juga posisi—mereka tidak lagi penting dalam kehidupan manusia. Itulah mengapa tidak jarang agamawan melakukan penentangan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dengan menggugat invensi-invensinya. Pemahaman tentang teori konspiasi di balik vaksin maupun penentangan terhadap tutupnya rumah ibadah di saat Pandemi bisa dilihat dari sudut padang ini. Namun sampai kapan usaha seperti itu akan dilakukan sedangkan tampak nyata manfaat ilmu pengetahuan bagi manusia. 

Mungkin ada baiknya para agamawan memikirkan ulang posisi agama di hadapan ilmu pengetahuan tidak dengan cara menentangnya. Sesungguhnya ilmu pengetahuan memiliki batasnya sendiri dan ilmu pengetahuan sudah mengakui hal itu. Barangkali pada batas itulah agama bisa masuk dan memberi warna. Barangkali lewat pintu masuk etika atau barangkali lewat pintu masuk hal-hal yang tidak bisa dipecahkan hanya dengan ilmu pengetahuan. Barangkali lewat pintu masuk gagalnya ilmu pengetahuan menjaga ekosistem, bahkan merusaknya. Terbukti, Pandemi saat ini tidak bisa hanya dipecahkan lewat ilmu pengetahuan. Bersediakah agamawan melakukannya tanpa harus mengingkari manfaat ilmu pengetahuan?[]

Editor: AMN

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *